Kita telah berada di titik 10 persen di atas batas ambang kemampuan bumi mencerna karbondioksida. Artinya, kita berada di titik balik. Pada level saat ini, tindakan yang harus diambil bukan lagi mengurangi, melainkan menghentikan.
PENELITIAN ahli beberapa dekade terakhir menunjukkan, makin panasnya bumi berkait langsung dengan gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Pencairan es di Antartika merupakan salah satu indikatornya. Perubahan demi perubahan melaju dalam hitungan bulan.
Pada 18 Mei 2008, Jay Zwally, ahli iklim NASA, memprediksi es di Antartika hampir semua akan mencair pada akhir musim panas 2012.
Sederet tanda bahaya yang telah terjadi sebelumnya adalah volume es pada musim panas 2007, hanya tinggal setengah dari empat tahun sebelumnya.
Efek domino apa yang membayang bila es mencair semua? Yang pasti, menaikkan level permukaan air laut, dan mempercepat siklus pemanasan global itu sendiri. Kurang lebih 80 persen sinar matahari yang sebelumnya dipantulkan akan diserap 95 persen oleh air laut.
Konsekuensi lanjut, terlepasnya 400 miliar ton gas metana atau 3000 kali dari jumlah gas metana di atmosfer. Gas metana punya efek rumah kaca 25 kali lebih besar dari karbondioksida. Salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah terulangnya bencana kepunahan massal seperti 55 juta tahun lalu.
Mengejar Waktu
Membaca fakta-fakta di atas, patut dicermati tenggat waktu yang semakin
sempit. Dr Rajendra Pachauri, ketua IPCC (Intergovernmental Panel On Climate Change) menekankan, dua tahun ke depan merupakan masa penting untuk menghambat laju pemanasan global yang bergerak sangat cepat.
James Hansen, ahli iklim NASA, mengatakan kita telah berada di titik 10 persen di atas batas ambang kemampuan bumi mencerna karbondioksida. Artinya, kita berada di titik balik. Pada level saat ini, tindakan yang harus diambil bukan lagi mengurangi, melainkan menghentikan.
Dalam konferensi pers di Paris, 15 Januari 2008, Dr Pachauri mengimbau masyarakat dunia dalam tingkat individu untuk tidak makan daging. Lebih baik mengendarai sepeda dan jadilah konsumen yang hemat.
Mengapa “jangan makan daging” berada di urutan pertama? Seperti laporan yang dirilis Badan Pangan Dunia (FAO) pada 2006 dalam Livestock's Long Shadow-Environmental Issues and Options, daging merupakan komoditas penghasil emisi karbon paling intensif (18 persen), bahkan melebihi kontribusi emisi karbon gabungan seluruh kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, pesawat, kapal, kereta api) di dunia (13,5 persen).
Peternakan juga penggerak utama dari penebangan hutan. Diperkirakan, 70 persen bekas hutan di Amazon, Amerika Selatan, telah dialihfungsikan menjadi ladang ternak. Setiap tahun penebangan hutan untuk pembukaan lahan peternakan mengontribusi emisi 2,4 miliar ton karbondioksida.
Bunuh Lingkungan
Selain menguras air, lahan, dan membebani atmosfer, konsumsi daging memukul bumi dengan polusi air, udara dan hilangnya kesuburan tanah serta kepunahan keanekaragaman hayati. Kotoran ternak adalah sumber pencemaran air.
Untuk di Amerika, peternakan menyumbang 900 juta ton kotoran tinja setiap tahun atau setara 130 kali kotoran manusia. Konversi internasional mengidentifikasi 35 titik rawan global, dicirikan dengan hilangnya habitat hingga level parah, 23 di antaranya disebabkan peternakan.
Saat ini, satwa yang sedang berjuang mati-matian bertahan dari pola perubahan iklim yang semakin ekstrem adalah beruang kutub. Makin meluasnya wilayah es mencair berarti makin berkurangnya habitat buruan beruang kutub. Satu persatu beruang kutub mati mengenaskan, lelah berenang bermil-mil jauhnya untuk mencari makan, tanpa hasil dan akhirnya mati kelaparan.
Gerakan Vegetarian
Tindakan waras apa yang segera harus dilakukan? Gerakan vegetarian sebagai solusi segera telah menjadi seruan global. Pertemuan G8 (Group of Eight Environment Ministers) yang dilansir The Japan Times Online 26 Mei 2008, sepakat pada satu seruan : Eat less beef!
Presiden Taiwan Ma Ying-jeou dan Wapres Vincent Siew memimpin penandatanganan deklarasi mengurangi karbondioksida dan aksi hemat energi, termasuk didalamnya mengonsumsi produk lokal dan lebih banyak sayur dan mengurangi daging.
Green Peace USA juga mengeluarkan seruan senada : On your plate! Yakni, mengimbau masyarakat dunia untuk mengeluarkan daging dari piring makan, karena makan daging bukan masalah pilihan personal lagi. Kita tidak bebas memilih ketika pilihan itu nyata mengancam
keberlangsungan hidup setiap mahluk di muka bumi ini.
Mengutip tulisan Senator Queensland, Andrew Bartlett, seluruh dunia tidak mesti menjadi vegetarian atau vegan untuk menyelamatkan planet kita, tapi kita harus mengakui fakta-fakta ilmiah ini, bahwa jika kita tidak mengurangi konsumsi produksi hewani, kesempatan kita untuk
menghentikan perubahan iklim adalah nihil.
Daging! Kini bukan masalah pilihan personal lagi, suka atau tidak suka, makan daging telah menjadi masalah yang mengancam kelangsungan hidup setiap orang di muka Bumi ini (World Watch Institute, 2004).
Mengubah pola makan juga berhadapan dengan kebiasaan yang telah mengakar. Mari dengan mata jernih melihat realitas, mengakui fakta betapa tekanan pola konsumsi daging sedemikian hebatnya pada daya dukung bumi.
Sejenak merasakan beban berat bumi ini, mungkin akan menggeser pilihan kita ke pola konsumsi tanpa daging, pola yang jauh lebih ramah. Terwujudnya masa depan bumi yang indah dan itulah yang hendak kitawariskan ke anak cucu kita kelak.
Sukasin Loe ST
Aktivis Indonesia Vegetarian Society Surabaya
PENELITIAN ahli beberapa dekade terakhir menunjukkan, makin panasnya bumi berkait langsung dengan gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Pencairan es di Antartika merupakan salah satu indikatornya. Perubahan demi perubahan melaju dalam hitungan bulan.
Pada 18 Mei 2008, Jay Zwally, ahli iklim NASA, memprediksi es di Antartika hampir semua akan mencair pada akhir musim panas 2012.
Sederet tanda bahaya yang telah terjadi sebelumnya adalah volume es pada musim panas 2007, hanya tinggal setengah dari empat tahun sebelumnya.
Efek domino apa yang membayang bila es mencair semua? Yang pasti, menaikkan level permukaan air laut, dan mempercepat siklus pemanasan global itu sendiri. Kurang lebih 80 persen sinar matahari yang sebelumnya dipantulkan akan diserap 95 persen oleh air laut.
Konsekuensi lanjut, terlepasnya 400 miliar ton gas metana atau 3000 kali dari jumlah gas metana di atmosfer. Gas metana punya efek rumah kaca 25 kali lebih besar dari karbondioksida. Salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah terulangnya bencana kepunahan massal seperti 55 juta tahun lalu.
Mengejar Waktu
Membaca fakta-fakta di atas, patut dicermati tenggat waktu yang semakin
sempit. Dr Rajendra Pachauri, ketua IPCC (Intergovernmental Panel On Climate Change) menekankan, dua tahun ke depan merupakan masa penting untuk menghambat laju pemanasan global yang bergerak sangat cepat.
James Hansen, ahli iklim NASA, mengatakan kita telah berada di titik 10 persen di atas batas ambang kemampuan bumi mencerna karbondioksida. Artinya, kita berada di titik balik. Pada level saat ini, tindakan yang harus diambil bukan lagi mengurangi, melainkan menghentikan.
Dalam konferensi pers di Paris, 15 Januari 2008, Dr Pachauri mengimbau masyarakat dunia dalam tingkat individu untuk tidak makan daging. Lebih baik mengendarai sepeda dan jadilah konsumen yang hemat.
Mengapa “jangan makan daging” berada di urutan pertama? Seperti laporan yang dirilis Badan Pangan Dunia (FAO) pada 2006 dalam Livestock's Long Shadow-Environmental Issues and Options, daging merupakan komoditas penghasil emisi karbon paling intensif (18 persen), bahkan melebihi kontribusi emisi karbon gabungan seluruh kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, pesawat, kapal, kereta api) di dunia (13,5 persen).
Peternakan juga penggerak utama dari penebangan hutan. Diperkirakan, 70 persen bekas hutan di Amazon, Amerika Selatan, telah dialihfungsikan menjadi ladang ternak. Setiap tahun penebangan hutan untuk pembukaan lahan peternakan mengontribusi emisi 2,4 miliar ton karbondioksida.
Bunuh Lingkungan
Selain menguras air, lahan, dan membebani atmosfer, konsumsi daging memukul bumi dengan polusi air, udara dan hilangnya kesuburan tanah serta kepunahan keanekaragaman hayati. Kotoran ternak adalah sumber pencemaran air.
Untuk di Amerika, peternakan menyumbang 900 juta ton kotoran tinja setiap tahun atau setara 130 kali kotoran manusia. Konversi internasional mengidentifikasi 35 titik rawan global, dicirikan dengan hilangnya habitat hingga level parah, 23 di antaranya disebabkan peternakan.
Saat ini, satwa yang sedang berjuang mati-matian bertahan dari pola perubahan iklim yang semakin ekstrem adalah beruang kutub. Makin meluasnya wilayah es mencair berarti makin berkurangnya habitat buruan beruang kutub. Satu persatu beruang kutub mati mengenaskan, lelah berenang bermil-mil jauhnya untuk mencari makan, tanpa hasil dan akhirnya mati kelaparan.
Gerakan Vegetarian
Tindakan waras apa yang segera harus dilakukan? Gerakan vegetarian sebagai solusi segera telah menjadi seruan global. Pertemuan G8 (Group of Eight Environment Ministers) yang dilansir The Japan Times Online 26 Mei 2008, sepakat pada satu seruan : Eat less beef!
Presiden Taiwan Ma Ying-jeou dan Wapres Vincent Siew memimpin penandatanganan deklarasi mengurangi karbondioksida dan aksi hemat energi, termasuk didalamnya mengonsumsi produk lokal dan lebih banyak sayur dan mengurangi daging.
Green Peace USA juga mengeluarkan seruan senada : On your plate! Yakni, mengimbau masyarakat dunia untuk mengeluarkan daging dari piring makan, karena makan daging bukan masalah pilihan personal lagi. Kita tidak bebas memilih ketika pilihan itu nyata mengancam
keberlangsungan hidup setiap mahluk di muka bumi ini.
Mengutip tulisan Senator Queensland, Andrew Bartlett, seluruh dunia tidak mesti menjadi vegetarian atau vegan untuk menyelamatkan planet kita, tapi kita harus mengakui fakta-fakta ilmiah ini, bahwa jika kita tidak mengurangi konsumsi produksi hewani, kesempatan kita untuk
menghentikan perubahan iklim adalah nihil.
Daging! Kini bukan masalah pilihan personal lagi, suka atau tidak suka, makan daging telah menjadi masalah yang mengancam kelangsungan hidup setiap orang di muka Bumi ini (World Watch Institute, 2004).
Mengubah pola makan juga berhadapan dengan kebiasaan yang telah mengakar. Mari dengan mata jernih melihat realitas, mengakui fakta betapa tekanan pola konsumsi daging sedemikian hebatnya pada daya dukung bumi.
Sejenak merasakan beban berat bumi ini, mungkin akan menggeser pilihan kita ke pola konsumsi tanpa daging, pola yang jauh lebih ramah. Terwujudnya masa depan bumi yang indah dan itulah yang hendak kitawariskan ke anak cucu kita kelak.
Sukasin Loe ST
Aktivis Indonesia Vegetarian Society Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar